Kematian Bapak Haji Moh. Soeharto mantan Presiden RI ke dua kabar gembira tau kabar duka?
Tulisan ini tidak akan menggambarkan apakah saya pro Cendana atau pro aktivis yang ideal. Saya hanya mencoba melihat dari sisi humanis,kemanusiaannya sebagia manusia. Dan tulisan ini bukanlah hanya saya saja yang menyadari namun banyak orang juga menyadari.
Pertama, Tidak ada sebuah kejadian kematian dianggap kabar gembira, kecuali kematian itu dapat menyelamatkan banyak sekali masyarakat. (Yesus misalnya, kematian Dia bisa dikatakan kabar gembira sebab bagi umat kristiani kematian Yesus berarti Dia berhasil menyelamatkan manusia dari dosa)
Bukankah bangsa ini sudah terselamatkan dalam arti demokrasinya sebelum Pak Harto meninggal? Reformasi sudah berjalan sebelum Pak Harto meninggal bukan? Berarti kematian beliau tidak dianggap menyelamatkan bangsa Indonesia sebab bangsa Indonesia sudah berdemokrasi jauh sebelum Pak Harto meninggal.
Para aktvis bebas mengkritik kebijakan pemerintah bukan setelah Pak Harto meninggal.
Kedua, Konon Pak Harto itu saat memimpin suka menutup mulut lawan politiknya dengan cara yang terorganisir dan biadab. Tidak tanggung-tanggung cara membunuh pun dilakukan. Ini yang diakui para mantan aktivis yang menjadi korban.
Ketiga, perlu dibedakan antara Pak Harto langsung melakukan pembunuhan atau Pak Harto hanya memberi tugas kepada Jenderal-Jenderal yang bertanggung jawab. Seandainya Pak Harto hanya berkata “Tolong tangani masalah ini” dan jika para Jenderal yang diberi tugas melaukan pembunuhan terhadap target jelas yang salah adalah para jenderal itu. Lha menangani bukan berarti membunuh.
Lihat dulu, Mao Tje Tung pemimpin partai komunis serta menjadi pemimpin pemerintahan RRC, saat itu dia dengan beraninya menghabisi langsung lawan politiknya bahkan tidak tanggung-tanggung teman seperjuangnya pun dia khianati. Dia terang-terangan keluar dari mulutnya mengenai strategi propaganda politiknya saat itu. Jelas Mao bersalah atas pembantaian itu. Atau Hitler yang lebih gila lagi dengan terang-terangan di piadatonya untuk melakukan penghampusan bersih kaum yahudi. Berapa juta korban manusia tak bersalah hanya karena mereka Yahudi oleh kebijakan Hitler. Jelas dia bersalah.
Betul Pak Harto juga ada kemungkinan melakukan itu namun apakah Pak Harto melakukan itu keluar dari mulutnya sendiri untuk melakukan pembantaian atau hanya berkata “Tolong tangani masalah ini” (Pendapat ini dari Lani, mahasiswi FISIP Moestopo)
Jadi jangan lah kita ikut-ikutan membenci Pak Harto jika kita saja bukan korban dari kebijakannya, kita saja bahkan tidak mengerti politik yang dia jalani lalu kenapa kita ikut membencinya? Terlebih mengatakan sebuah kabar gembira jika Pak Harto kini wafat.
Keempat, jika memang betul Pak Harto melakukan sendiri dari otaknya sendiri untuk melakukan pembantaian dan lainnya, itu biarkan hukum yang bekerja jangan disamakan dengan sisi kemanusiaan kita. Jika kita selalu bersikap tidak dapat membedakan hukum dengan sifar humanis maka tidak heran kasus Pak Harto hingga sekarang belum jelas. Hukum ya legal, Humanis ya morale.
Lihat keluarga Soekarno, diwakili Guru Soekarno Putra dengan jelas mengatakan bahwa keluarga Soekarno dapat memaafkan kesalahan Bapak Soeharto. Padahal Pak Harto notaben nya dulu melakukan pengasingan dan menyiksa ayahnya, Soekarno. Guru pun mengatakan bedakan antara hukum dengan nilai kemanusiaan yang diajarkan agama. Bayangkan korban saja ikut bersedih atas kabar meninggalnya Soeharto kenapa ada yang menganggap itu kabar gembira.
Kelima, kita sebagai bangsa harus bisa berpikir intelektual. Biarkan politik berjalan apa adanya dan jangan campur adukan dengan perasaan yang sebenarnya kita pun tidak mengalami langsung apa yang dilakukan Soeharto.
Jangan sampai kita yang intelektual tidak menggunakan sisi humanis kita sehingga sifat-sifat perasaan kita hilang karena ikut-ikutan membenci beliau yang padahal korbannya saja sudah bisa memaafkan. Jangan kita justru sama saja seperti Pak Harto yang “PINTAR TAPI BIADAB” (Label ini bukan saya yang beri namun mereka yang mengatakan demikian mungkin karena lebih paham akan Soeharto)
Tulisan ini tidak akan menggambarkan apakah saya pro Cendana atau pro aktivis yang ideal. Saya hanya mencoba melihat dari sisi humanis,kemanusiaannya sebagia manusia. Dan tulisan ini bukanlah hanya saya saja yang menyadari namun banyak orang juga menyadari.
Pertama, Tidak ada sebuah kejadian kematian dianggap kabar gembira, kecuali kematian itu dapat menyelamatkan banyak sekali masyarakat. (Yesus misalnya, kematian Dia bisa dikatakan kabar gembira sebab bagi umat kristiani kematian Yesus berarti Dia berhasil menyelamatkan manusia dari dosa)
Bukankah bangsa ini sudah terselamatkan dalam arti demokrasinya sebelum Pak Harto meninggal? Reformasi sudah berjalan sebelum Pak Harto meninggal bukan? Berarti kematian beliau tidak dianggap menyelamatkan bangsa Indonesia sebab bangsa Indonesia sudah berdemokrasi jauh sebelum Pak Harto meninggal.
Para aktvis bebas mengkritik kebijakan pemerintah bukan setelah Pak Harto meninggal.
Kedua, Konon Pak Harto itu saat memimpin suka menutup mulut lawan politiknya dengan cara yang terorganisir dan biadab. Tidak tanggung-tanggung cara membunuh pun dilakukan. Ini yang diakui para mantan aktivis yang menjadi korban.
Ketiga, perlu dibedakan antara Pak Harto langsung melakukan pembunuhan atau Pak Harto hanya memberi tugas kepada Jenderal-Jenderal yang bertanggung jawab. Seandainya Pak Harto hanya berkata “Tolong tangani masalah ini” dan jika para Jenderal yang diberi tugas melaukan pembunuhan terhadap target jelas yang salah adalah para jenderal itu. Lha menangani bukan berarti membunuh.
Lihat dulu, Mao Tje Tung pemimpin partai komunis serta menjadi pemimpin pemerintahan RRC, saat itu dia dengan beraninya menghabisi langsung lawan politiknya bahkan tidak tanggung-tanggung teman seperjuangnya pun dia khianati. Dia terang-terangan keluar dari mulutnya mengenai strategi propaganda politiknya saat itu. Jelas Mao bersalah atas pembantaian itu. Atau Hitler yang lebih gila lagi dengan terang-terangan di piadatonya untuk melakukan penghampusan bersih kaum yahudi. Berapa juta korban manusia tak bersalah hanya karena mereka Yahudi oleh kebijakan Hitler. Jelas dia bersalah.
Betul Pak Harto juga ada kemungkinan melakukan itu namun apakah Pak Harto melakukan itu keluar dari mulutnya sendiri untuk melakukan pembantaian atau hanya berkata “Tolong tangani masalah ini” (Pendapat ini dari Lani, mahasiswi FISIP Moestopo)
Jadi jangan lah kita ikut-ikutan membenci Pak Harto jika kita saja bukan korban dari kebijakannya, kita saja bahkan tidak mengerti politik yang dia jalani lalu kenapa kita ikut membencinya? Terlebih mengatakan sebuah kabar gembira jika Pak Harto kini wafat.
Keempat, jika memang betul Pak Harto melakukan sendiri dari otaknya sendiri untuk melakukan pembantaian dan lainnya, itu biarkan hukum yang bekerja jangan disamakan dengan sisi kemanusiaan kita. Jika kita selalu bersikap tidak dapat membedakan hukum dengan sifar humanis maka tidak heran kasus Pak Harto hingga sekarang belum jelas. Hukum ya legal, Humanis ya morale.
Lihat keluarga Soekarno, diwakili Guru Soekarno Putra dengan jelas mengatakan bahwa keluarga Soekarno dapat memaafkan kesalahan Bapak Soeharto. Padahal Pak Harto notaben nya dulu melakukan pengasingan dan menyiksa ayahnya, Soekarno. Guru pun mengatakan bedakan antara hukum dengan nilai kemanusiaan yang diajarkan agama. Bayangkan korban saja ikut bersedih atas kabar meninggalnya Soeharto kenapa ada yang menganggap itu kabar gembira.
Kelima, kita sebagai bangsa harus bisa berpikir intelektual. Biarkan politik berjalan apa adanya dan jangan campur adukan dengan perasaan yang sebenarnya kita pun tidak mengalami langsung apa yang dilakukan Soeharto.
Jangan sampai kita yang intelektual tidak menggunakan sisi humanis kita sehingga sifat-sifat perasaan kita hilang karena ikut-ikutan membenci beliau yang padahal korbannya saja sudah bisa memaafkan. Jangan kita justru sama saja seperti Pak Harto yang “PINTAR TAPI BIADAB” (Label ini bukan saya yang beri namun mereka yang mengatakan demikian mungkin karena lebih paham akan Soeharto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar