Rabu, 03 September 2008

Di Balik Mogoknya Supir Busway dan Kepekaan PR

Di Balik Mogoknya Supir Busway dan Kepekaan PR

Hari pertama puasa seharusnya menjadi hari yang penuh hikmat bagi umat muslim. Masa di mana kesabaran diuji, pintu maaf dibukakan, dan terlebih menghindari dendam dengan sesama. Namun mungkin tidak untuk para pegawai dan supir busway koridor Pulo Gadung dan Kali Deres yang menjadi koridor II dan V.
Mereka pada mogok kerja pada hari pertama puasa, pada tanggal 1 September. Masalahnya adalah pemotongan gaji oleh pihak manajemen TransJakarta. Mungkin pemogokan ini banyak orang menganggap wajar dilakukan para pegawai jika terjadi pemotongan gaji. Namun bagaimana pun juga perusahaan yang mengalami pegawainya mogok kerja mencerminkan perusahaan itu memiliki ‘jarak’ yang jauh antara pihak top manajemen dengan bawahannya yang seharusnya tidak berlaku lagi hal demikian bagi perusahaan modern atau jaman sekarang.
Perusahaan sehat jaman sekarang ini harus menghilangkan ‘jarak’ dari atasan dan bawahan terutama dalam hal komunikasi (Tentu dengan kaidah dan organisasi yang berlaku). Menghilangkan jarak bukan berarti bawahan bisa kurang ajar dengan atasan melainkan adanya hubungan harmonis di mana para pekerja secara sadar paham bahwa siapa yang harus dihormati dan disegani. Dan semua ini tidak melulu menjadi tugas pihak direktur. PR dapat mewujudkannya.
Setahu saya Trans Jakarta memiliki orang-orang PR sendiri terbukti adanya majalah dan koran untuk pegawai dan penumpang Busway. Itu salah satu tugas dari PR. Waktu itu saya sangat memuji dengan cara kerja PR Trans Jakarta bahkan dikatakan kagum bahwa akhirnya ada juga angkutan publik yang dengan berhasil menjalankan PR dengan baik di Jakarta. Lama menunggu bus datang tak jadi soal sebab ada kerjaan yaitu membaca koran dari Trans Jakarta.
Kekaguman saya seketika hilang saat mendengar pegawai dan supir Trans Jakarta mogok kerja dan menelantarkan penumpang karena pemotongan gaji. Parahnya lagi pihak manajemen mengaku tidak tahu menahu soal aksi mogok ini.
Jika saja PR Trans Jakarta peka, hal pemogokan bisa saja tidak terjadi. Tidak mungkin aksi pemogokan ini dapat disimpan rapi rahasianya karena saya yakin pegawai Trans Jakarta bukan intel yang luar biasa dapat mengkoordinasikan aksi mogok diam-diam.
Pihak manajemen Trans Jakarta jika memahami manajemen konflik pasti saat ada desas-desus akan ada aski mogok kerja sebaiknya langsung diadakan pertemuan dengan pihak atasan dan pegawai yang ingin mogok kerja. Jika soalnya pemotongan gaji yang hematnya menurut pihak manajemen pasti tidak bakal diterima berarti benar-benarlah pihak manajemen Trans Jakarta belajar banyak soal PR.
Saya akui saya belum terjun langsung menjadi praktisi PR namun saya banyak belajar dari praktisi PR.
Ada salah satu perusahaan legendaris diceritakan oleh dosen masalah PR. Waktu itu krisis moneter dan perusahaan ini mengalami kerugian besar sehingga perlu adanya PHK besar-besaran. Kemudian pihak manajemen perusahaan tersebut mengadakan pertemuan seluruh pegawai dan berkata “Kalian tahu bahwa krisis moneter sedang menghancurkan perekonomian dan perusahaan kita tidak dapat lagi bertahan jika tidak mengambil tindakan untuk menyelamatkan perusahaan. Kami memutuskan untuk mengambil tindakan melakukan PHK hampir 50% seluruh karyawan. Kami tahu ini sangat buruk dan pihak perusahaan mencoba untuk menghindari hal itu terjadi maka hal yang paling terburuk adalah pemotongan gaji sebesar 20% berlaku untuk semua jabatan hingga manajer agar terhindar PHK tersebut. Silahkan anda memilih pemotongan gaji atau PHK”
Hasilnya luar biasa, semua pegawai tersebut memilih dipotong gajinya sebesar 20%. Seandainya saja PR Trans Jakarta dapat peka dan membangun arus komunikasi yang baik maka aksi pemogokan bahkan adu mulut di depan kameramen peliputan berita tidak akan terjadi. PR bukan melulu mengenai sesuatu yang bersifat kaku melainkan luwes dan memiliki nilai manusiawi.

Tidak ada komentar: